
4 minute read
Kalau Terus Menunggu Sempurna, Kapan Selesainya?
Pernahkah Anda menatap layar kosong berjam-jam, yakin bahwa ide “sempurna” itu ada di sana, tersembunyi di balik kebuntuan? Atau mungkin tumpukan draf tulisan, side project yang 90% selesai, atau lagu yang tinggal sedikit sentuhan akhir, tapi tak kunjung dirilis karena merasa ‘belum ciamik’?
Kalau iya, tenang, Anda tidak sendirian. Dan mungkin saatnya menyeduh kopi, duduk sejenak, lalu mendengarkan prinsip kuno tapi sangat relevan ini:
“Done is better than perfect.”
Kalimatnya simpel, tapi dalem. Ibarat kopi tubruk yang diseruput tukang bangunan jam 6 pagi, filosofi ini meresap kuat ke dalam praktik.
Mari kita intip kisah yang mungkin bisa membuka mata Anda tentang ‘kesempurnaan’ yang seringkali menipu.
Kisah Bata yang Tak Harus Sempurna
Bayangkan Anda sedang membangun rumah impian. Ada tukang yang tiap kali menemukan bata sedikit retak atau tidak presisi, langsung membuangnya.
- Hari pertama: 3 bata terbuang sia-sia.
- Hari ketiga: 10 bata lenyap entah ke mana.
- Hari ketujuh: semua bata dianggap tidak simetris, tak layak pakai.
Hasilnya? Rumah itu hanya angan-angan, fondasinya pun tak pernah terlihat. Semua energi habis untuk mengejar idealisme semu.
Di seberang jalan, ada tukang senior yang bijaksana. Dia tahu betul tidak semua bata itu sempurna, namun dia tetap menyusunnya dengan cerdas dan penuh perhitungan. Baginya, tembok yang kokoh dan berdiri tegak bukanlah tentang deretan bata yang mulus tanpa cacat, melainkan tentang struktur yang selesai berdiri dan berfungsi.
Contoh nyata dari prinsip ini?
Lihatlah Instagram. Versi awalnya jauh dari kesan ‘sempurna’ yang kita kenal sekarang, antar muka sederhana, fitur terbatas. Tapi mereka berani merilisnya, mendengarkan saran-saran dari usernya, dan terus memperbaikinya secara iteratif. Bayangkan jika mereka menunggu hingga “sempurna” mutlak, mungkin saat ini kita hanya akan scroll media sosial lain.
Kesempurnaan Itu Jebakan, Progres Itu Nyata
Mengapa kita seringkali menunda-nunda? Bukan karena tidak mampu, melainkan karena takut hasilnya tidak “wow” di mata orang lain.
Kita mendambakan post yang viral, proyek yang membuat orang melongo, atau tulisan yang mengundang tepuk tangan meriah. Tapi coba pikirkan kembali:
- Artikel yang dipublikasikan, meski sederhana, jauh lebih berharga daripada draf “epik” yang selamanya mendekam di laptop.
- Fitur simpel yang dipakai user, meski belum canggih, lebih berguna daripada deretan kode kompleks yang hanya menumpuk di GitHub tanpa pernah disentuh.
- Video mentah dengan lighting seadanya, justru terasa lebih hidup dan autentik daripada naskah yang direvisi sampai beruban.
Mengejar sempurna seringkali hanyalah topeng bagi ketakutan untuk memulai, dalih nyaman untuk menunda keberanian menghadapi realita.
Seperti kata Reid Hoffman, pendiri LinkedIn yang visioner: “Kalau kamu tidak malu dengan versi pertama produkmu, berarti kamu telat rilis.” Sebuah tamparan yang tepat sasaran, bukan?
Mengapa “Done” Itu Sakti?
- Selesai itu bisa dites. Rilis aplikasi sederhana Anda, biarkan pengguna memberikan umpan balik, dan dari sana Anda akan tahu persis apa yang perlu diperbaiki. Jika hanya bersembunyi di kepala, lawan terbesar Anda hanyalah overthinking yang tak berujung.
- Sempurna itu subjektif. Apa yang Anda anggap “biasa saja”, bisa jadi orang lain melihatnya sebagai “luar biasa!”. Ambil contoh musisi jalanan. Mereka tidak menunggu punya alat rekaman mahal atau studio kedap suara untuk mulai tampil. Mereka memainkan apa yang mereka bisa, di tempat yang mereka punya, lalu menyempurnakan seiring waktu dari respons pendengar. Bukankah hidup ini juga begitu?
- Selesai Bikin Ketagihan dan Melatih Nyali. Satu karya yang selesai, sekecil apa pun, memberikan rasa puas dan keberanian. Seperti push-up pertama, ia memicu semangat menyelesaikan yang berikutnya.
Tips Buat Perfeksionis yang Ingin Move On
Bagaimana caranya kita bisa lepas dari jerat ilusi “harus sempurna”? Ini dia beberapa langkah sederhana yang bisa Anda mulai sekarang:
- Berikan deadline ketat. Bukan “nanti kalau sudah oke”, tapi “harus selesai Jumat ini”. Titik. Komitmen pada tenggat waktu akan memaksa Anda untuk bertindak.
- Mulai dari versi mini. Mau membuat online course? Rekam 1 video 5 menit saja dulu. Mau menulis e-book? Tulis 3 halaman pertama. Mau membangun startup? Cukup buat landing page sederhana. Mulai kecil, lalu kembangkan.
- Revisi itu hak prerogatif. Ingat, revisi itu hak prerogatif, bukan tanda kegagalan. Buku best seller punya edisi kedua yang disempurnakan. Aplikasi sekelas WhatsApp pun pernah ‘jelek’ di versi awalnya. Jadi, santai saja! Segala sesuatu bisa diperbaiki dan dioptimalkan, asal sudah diluncurkan terlebih dahulu.
Penutup yang Nggak Muluk Tapi Ngena
Karya sempurna mungkin hanya ada di dongeng atau imajinasi. Namun, karya yang selesai? Itulah yang menciptakan perubahan, memicu progres, dan membuka pintu kesempatan.
Entah itu artikel, lagu, aplikasi, atau podcast, jika tidak pernah selesai, ia hanya akan menjadi “ide kece” yang menguap tak berbekas. Jadi, hari ini, ambillah satu langkah kecil. Selesaikan satu hal. Walaupun tidak 100% sempurna di mata Anda, itu jauh lebih berharga daripada rencana megah yang hanya numpuk di kepala.
Apa satu hal kecil yang bisa Anda selesaikan sekarang? Tulis di notes, kirim ke grup WA, atau bisikkan ke diri sendiri. Yang terpenting, mulai.
Karena seperti pesan bijak si tukang bangunan: tembok besar selalu dimulai dari satu bata, ia tak perlu mulus, ia hanya perlu disusun.
Jika tulisan ini menyentuh Anda, jangan ragu untuk membagikannya ke teman atau kolega yang sering menunda karena mengejar kesempurnaan. Atau kirimkan ke diri sendiri sebagai pengingat: Anda tidak perlu flawless, Anda hanya perlu selesai.
Yuk, selesaikan satu hal hari ini. Done is better than perfect!
Jangan biarkan ide bagus Anda hanya jadi pengisi folder “Draft”. Beri ia kesempatan untuk hidup, meski belum sempurna.
Artikel Terkait:
Comments (0)
Failed to load comments.